BAB I
PENDAHULUAN
Jika kita bicarakan mengenai Hak
Asasi Manusia maka yang telah kita ketahui terlebih dahulu yaitu hak pokok atauu hak dasar
yang telah di bawa oleh manusia sejak lahir dan secara kodrat melekat pada setiap manusia dan tidak
dapat diganggu gugat karena merupakan anugrah Tuhan Yanng Maha Esa yang harus
senantiasa kita syukuri.
Begitu pula apabila kita
bicarakan mengenai korupsi yang dewasa ini kasus-kasusnya banyak terjadi di Negri ini yang semakin
merajalela dann menarik untuk diperbincangkan. Dan korupsi
merupakann penyakit masyarakat yang sangat membahayakan karena dapat
mengakibatkan terhambatnya kelancaran pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Dan melihatt ketersediaan
orang-orang berpangkat di Negri ini yang tidak melihat ke bawah atau memandang
masyarakat kecil yang terus-mennerus menerimma akibat dari ulah mereka.
Kami menerakan berbagai contoh
kasus Hak Asasi Manusia dan kasus Korupsi yang pernah terjadi di negri kita
Indonesia.
Makalah ini kami terakan dengann
penulisah yang komunikatif yang sesuai dengan bahasa para pelajar.
Makalahh
ini meliputi:
· Daftar Isi
· Bab I Pendahuluan
· Bab II Contohh kasus
· Bab III Penutup
· Daftar Pustaka
BAB II
CONTOH KASUS
1. PERISTIWA TANJUNG PRIOK 1984 -
BETAWI vs JAWA
Kronologi
Tragedi Tanjung Priok Berdarah 1984 oleh Saksi Mata Ust. Abdul Qadir Djaelani
Abdul
Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan
sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap
dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat
Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok.
Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa
Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya
berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.
Tanjung
Priok, Sabtu, 8 September 1984
Dua orang
petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di
gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang
tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya
berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang. Tanjung
Priok, Ahad, 9 September 1984 Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di
Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak
yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin. Tanjung
Priok, Senin, 10 September 1984 Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah
berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka.
Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah
Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta
penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung,
orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan
permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang
diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan
penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua
Mushala as-Sa’adah.
Amir Biki
menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang
jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir
Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66,
dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi
penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir
Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
Tanjung
Priok, Rabu, 12 September 1984
Dalam
suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang
Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah,
terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang
bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan
latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian
mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu,
Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah.
Kita
meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes
pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak
membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak
dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita
tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di tengah-tengah perjalanan,
berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada
waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan
sebagian menuju Kodim.
Setelah
sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang
oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata
otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar
militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut
oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur
dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para
jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh
menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris;
beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer
yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!”
Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih
bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tidak
lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam
kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu
dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah
yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih
mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang
tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum
tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh
mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas
mobil truk besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di
got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Setelah
itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk
mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk,
bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh
mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan
karung goni.
Sesudah
mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama
kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang
bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya,
sampai bersih.
Sementara
itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir
Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh
militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan
hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu
jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian
itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang
menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar.
Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk,
menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh
tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur
menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu
dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat
berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu
RSPAD).
Sesampainya
di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di
dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu
di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah
sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya
peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi
apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau
berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering
sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian
sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu
saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat
berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian
tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut
pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas.
Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap
tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984,
kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya
2. PEMBREDALAN MAJJALAH TEMPO, DETIK
DAN EDITOR 21 JUNNI 1994
Perlawanan
Itu Akan Terus Berlanjut
"Yang kami peringati bukan pembredelan, tapi perlawanan terhadap pembredelan, dan itu akan kami teruskan," Goenawan Mohamad
Tanggal 21 Juni merupakan tanggal bersejarah bagi pers Indonesia. Pada tanggal itutahun, 1994, tiga media massa cetak ibu kota dibredel sekaligus. Yang menjadi korban adalah TEMPO, Detik, dan Editor. Dan ketiga media itu seperti menambah daftar korban pembredelan selama Orde Baru. Tercatat, sejak 1968, sudah lebih dari 25 media massa dicabut Surat Ijin Terbit (SIT) atau Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-nya tanpa melalui proses pengadilan seperti disyaratkan undang-undang pokok pers. Dan selama hampir 30 tahun itu, baru Majalah TEMPO yang mengadukan nasibnya ke pengadilan. Di tingkat pertama dan kedua TEMPO menang, tapi Mahkamah Agung mengalahkan TEMPO -- dengan pertimbangan hukum yang sering ditulis pakar hukum sebagai salah satu yang "terburuk" dalam sejarah MA.
Pelarangan terbit majalah Tempo pada 1994 (bersama dengan Tabloid Editor (tabloid) dan Tabloid Detik (tabloid)), tidak pernah jelas penyebabnya. Tapi banyak orang yakin bahwa Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena laporan majalah ini tentang impor kapal perang dari Jerman. Laporan ini dianggap membahayakan "stabilitas negara". Laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap impor oleh Menristek BJ Habibie. Sekelompok wartawan yang kecewa pada sikap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang menyetujui pembreidelan Tempo, Editor, dan Detik, kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Indonesia.
"Yang kami peringati bukan pembredelan, tapi perlawanan terhadap pembredelan, dan itu akan kami teruskan," Goenawan Mohamad
Tanggal 21 Juni merupakan tanggal bersejarah bagi pers Indonesia. Pada tanggal itutahun, 1994, tiga media massa cetak ibu kota dibredel sekaligus. Yang menjadi korban adalah TEMPO, Detik, dan Editor. Dan ketiga media itu seperti menambah daftar korban pembredelan selama Orde Baru. Tercatat, sejak 1968, sudah lebih dari 25 media massa dicabut Surat Ijin Terbit (SIT) atau Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-nya tanpa melalui proses pengadilan seperti disyaratkan undang-undang pokok pers. Dan selama hampir 30 tahun itu, baru Majalah TEMPO yang mengadukan nasibnya ke pengadilan. Di tingkat pertama dan kedua TEMPO menang, tapi Mahkamah Agung mengalahkan TEMPO -- dengan pertimbangan hukum yang sering ditulis pakar hukum sebagai salah satu yang "terburuk" dalam sejarah MA.
Pelarangan terbit majalah Tempo pada 1994 (bersama dengan Tabloid Editor (tabloid) dan Tabloid Detik (tabloid)), tidak pernah jelas penyebabnya. Tapi banyak orang yakin bahwa Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena laporan majalah ini tentang impor kapal perang dari Jerman. Laporan ini dianggap membahayakan "stabilitas negara". Laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap impor oleh Menristek BJ Habibie. Sekelompok wartawan yang kecewa pada sikap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang menyetujui pembreidelan Tempo, Editor, dan Detik, kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Indonesia.
3. PEMBANTAIAN
TERHADAP TENGKU BANTAQIYAH DAN MURIDNYA DI ACEH TAHUN 1999
Beutong
Ateuh, dalam terjemahan bahasa Indonesia berarti Betung atas, memiliki sejarah
yang cukup panjang, dimana daeraha ini dibangun sejak zaman belanda-begitu
orang beutong bersaksi – dan melihat letak geografisnya sangat nyaman untuk
istirahat beberapa bulan lamanya. Daerah yang terletak diantara dua gunung ini
mengalir sungi betung yang jernih dan sejuk. Sedangkan pegunungan yang termasuk
dari gususan bukit barisan ini, memang sangat potensial untuk dijadikan markas
pertanan pejuang Aceh semasa penjajahan belanda. Di daerah inilah Cut Nyak Dien
dan Tengku Cik Citiro pernah bertahan dari kejaran belanda, walau keduanya
tertangkap oleh belanda di daerah ini. Lebatnya hutan dan suburnya tanah
membuat warga yang bermukim enggan meninggalkan lembah ini, mengingat di daerah
ini adalah daerh yang cocok untuk bercocok tanam. Sebelum daerah ini dibuka
pada tahun 1996, untuk kendaraan roda empat, warga yang ingin kedalam dan
keluar desa ini harus berjalan kaki dua sampai empat hari lamanya. Menelusuri
hutan lembah berliku guna mencapai daerah yang berbatasan dengan Takengon Aceh
Tengah. Sedangkan Beutong Ateuh sendiri masuk dalam kabupaten Aceh Barat,
Meulaboh sebagai kota kabupaten.
Pada
daerah inilah brdiri sebuah pesantren pada tahun 1982 yang dipimpin oleh seorang
Kyai bernama Tengku Bantaqiah. Abu Bantaqiyah – begitu para mudirnya
memanggil – aladalah seorang alim ulama yang segani dan dihormati
keberadaanya. Tak heran bila dikalangan masyarakat Aceh sendiri beliau
ditokohkan, mengingat begitu banyak masyarakat Aceh yang belajar agama di
pesanteren yang ia pimpin. Mudir-muridnya yang berasal dari pelosok daerah Aceh
ini, diajrkan pendidikan agama langsung dari beliau dan dibantu oleh seorang
kepercayaannya. Aktivitas belajar mengajar dilakukan pada areal yang ia miliki
yang berada ditepi sungai beutong. Murid-murid yang berjumlah ratusan ini,
selain beljar mereka bercocok tanam seperti nila dan lain sebaginya. Dari hasil
pertanian ini mereka bahu membantu untuk menghidupkan aktivitas sehari-harinya.
Selin murid-murid menetap di pesantern ini, masih ada lagi murid-murid yang
tinggal hanya pada saat mereka beribur dari kerja atau sekolah dan jumlah lebih
banyak daripada yang menetap (jumlahnya dalah gitungan ribuan). Tak heran bila
banyak murid-murid beliau yang tersebar di segenap penjuru Aceh.
Tengku
Bantaqiah yang pernah menolak untuk bergabung dengan Majelis Ulama Indonesia
cabang Aceh ini, sekali waktu turung gunung untuk mempersoalkan kemaksiatan di
Aceh, dan akhirnya ia dituduh sebagai orang yang memiliki ajaran sesat. Hal ini
beliau lakukan pada tahun 1988 dengan beberapa anak muridnya dengan menamakan
dirinya Anggota Jubah Putih. Untuk melunakkan hatinya pemerintah daerah Aceh
melalui gubernur memberikan bantuan guna membangun sebuah pesantren. Namun rumah
pesantren ini, gedung yang sudah terbangun di kecamatan beutong bawah ulu Ulee
Jalan, mereka tolak karena lokasinya jauh dari tempat pesantren mereka. Dengan
menolak pemberian ini, Tengku Bantaqiah menjadi orang yang sangat tidak sekuler
dikalangan birokrat Aceh pada waktu itu. Sehingga pada tahun 1992 dengan
suruhan sebagai Mentri Urusan Pangan Cerakan Aceh Merdeka, beliau dijebloskan
dalam tahanan dengan masa tahanan 20 tahun lamanya. Namun saat presiden ke tiga
Indonesia (BJ Habibie) hadir di Banda Aceh, atas permintaan warga masyarakat
Aceh, Habibie melepaskan Tengku Bantaqiah.
Aktivitas Pesantren
Sebagaimana
layaknya kehidupan sebuah pesantren, aktivitas di pesantren Tengku Bantaqiah
sangat diwarnai dengan suasana Religius yang sangat mendalam. Hal ini dapat
terlihat dari aktivitas sehari-hari mulai dari ibadah sholat Shubuh dipgi hari
dilanjutkan degan Szikir kemudian para santri bermujahadah sambil melakukan
kegiatan-kegiatan lainnya seperti bertani, bercocok tanam, kerja
baktimeperbaiki lingkungan sekitarnya. Kegiatan bermujahadah bagi pesantern
Tengku Bantaqiah adalah merupakan satu kekuatan religius yang sangat vital
dalam upaya pembentukan tingkat ketaqwaan para muridnya.
Kalaupun
ada yang berbeda dari pesantren ini yaitu terlihat bahwa sebagian besar
murid-muridnya adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan amoral di
masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri dan tindakan-tindakan kriminalisasi
lainnya. Menurut Tengku Bataqiah, untuk apa mengajaka orang yang sudah ada
didalam mesjid, justru mereka yang masih di luar mesjidlah yang harus kita
ajak. Jumlah santri yang pernah menuntut ilmu di pesantren Tengku Bantaqiah ini
tercatat lebih kurang 30.000 orang yang tersebar di berbagai tempat, bukan
hanya di Aceh, tapi juga Medan , Jakarta , bahwakan sampai ke Malaysia .
Lulusan Pesantren Bntaqiah hdup dan bekrja dalam aktivitas-aktivitas yang
beragam, mulai petani, pedagang, pegawai swasta dan pegawai negeri, bahkan
anggota TNI. Hal ini menunjukkan bahwa Tengku Bantaqiah tidak pandang bulu
dalam menerima murid.
Kini
setelah ulama kharismatik tersebut telah tiada, pesantren yang diharapkan dapat
melahirkan pemimpin umat, untuk sementara ini kesulitan untuk melanjutkan
aktivitas sehari-harinya, karena alat-alat Bantu pengajaran seperti, al-qur'an,
kitab kuning, surat – surat yassin habis dibakar oleh pasukan tersebut. Hal
ini tentara lakukan ersamaan dengan dibakarnya pakian, KTP, dan barang-barang
lain milik Tengku dan muridnya yang tewas pada saat itu. Kini tempat yang jauh
dari keramaian ini memubat masyarakat Aceh untuk saat ini enggang untjk
bergurau kembali di lebah yang hijau ini, mengingat peristiwa tersebut adalah
peristiwa yang cukup membuat mereka terluka untuk selama-lamanya.
Kronologi Pembantaian
Tengku Bantaqiah dan Muridnya
Kamis 22 Juli 99 : Pasukan TNI yang terdiri dari Kostrad, brimob,
dan lain sebaginya mendirikan tenda-tenda diseputar pegunungan beutong Ateuh.
Saat itu warga desa telah mengetahui akan keberadaan mereka, namun warga tidak
mengetahui tujuan dari didirikannya tenda-tenda tersebut. Pada saat itu juga
telah terjadi penembakan terhadap warga yang sedang mencari udang. Peristiwa
ini mengakibat satu orang terluka sedangkan yang melarikan diri ke hutan
sekitarnya.
Jum'at 23
Juli 99 : pukul 08.00 pasukan TNI mengamati pesantren Tengku Bantaqiah dari
seberang sungai.
Pukul
09.00 pasukan TNI melakukan pembakaran ruma penduduk yang letaknkya kira2 100
meter disebelah Timur pesantren Tengku bantaqiah.
Pukul
10.00 Pasukan tersebut mulai mendekati pesantren Tengku Bantaqiah.
Pukul
11.00 Pasukan TNI yang berseragam dan mengenakan senjata lengkap dan sebagian
dari mereka menutupi wajahnya dengan cat hitam dan hijau. Mulai memasuki
wilayah pesantren.
Pukul
11.30 Pasukan tersebut dengan mencaci maki dan menghujat Tengku Bantaqiah agar
Tengku Bantaqiah mau segera menemui mereka. Dikarenakan pada waktu itu hari
Jum'at dan sudah menjadi kebiasaan di pesantren, para santri - berkumpul di
pesantren yang memiliki dua lantai yang terbuat dari papan dan kayu balok tetap
melakukan seperti biasanya. Setelah cukup lama tengku Bantaqiah turun bersama
dengan seorang muridnya untuk menemui pasukan tersebut. Setelah
berbincang-bincang, semua murid/santri laki-laki disuruh turun sedangkan yang
wanita diatas pesantren, dikumpulkan ditanah lapang dengan duduk jongkok dan
menghadap kesungai.
Pukul
12.00 setelah santri laki-laki berkumpul, pimpinan pasukan tersebut meminta
kepada Tengku Bantaqiah untuk menyerahkan senjata yang ia miliki. Karena Tengku
Bantaqiah merasa tidak pernah memiliki senjata yang mereka maksud, maka Tengku
Bantaqiah hanya membantah tuduhan tersebut. Namun dengan pengakuan Tengku
Bantaqiah tentara tidak puas dan lalu mereka mempersoalkan sebuah antenna radio
pemancar yang terpasang pada atap pesantren. Lalu pompinan pasukan tersebut
memerintahkan agar segerap melepaskan antenna tersebut dengah menyuruh putra
Tengku Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Sebelum Usman
menaiki atap pesantren tersebut ia menuju rumah untuk mengambil peralatan,
namun sebelum mencapai rumah yang jaraknya hanya 7 meter dari tempat berkumpul
para santri, seorang pasukan memukul Usman dengan senjata api. Melihat
perlakuan ini, Tengku Bantaqiah mencoba untuk mendekati putranya tersebut.
Bersamaan dengan mendekatnya tengku Bantaqiah ke tempat pemukulan tersebut,
dengan aba-aba tentara menembak Tengku Bantaqiah dengan menggunakan senjata
pelontar BOM sehingga tersungkurlah Tengku Bantaqiah, setelah itu tembakan
beruntun ditujukan ke arah kumpulan Santri. Tanpa perlawanan sama sekali
pasukan ini menembak dengan membabi buta sehingga santri yang jumlahnya mencapi
puluhan orang itu tewas dan terluka.
Setelah
penembakan yag dilakukan berulang ulang ini, pasukan mengumpulkan santri yang
masih hidup untuk dibariskan disebelah rumah tengku Bantaqiah. Beberapa saat
kemudian dengan dalih akan membawa mereka berobat, santri yang mengalami luka
atau tidak sama sekali diangkut dengan menggunakan truk menuju Takengon Aceh
Tengah. Hanya beberapa orang saja yang sengaja ditinggalkan. Ditengah
perjalanan menuju takengon tersebut, santri-santri ini pada kilometer 7
diturunkan dan diperintahkan untuk duduk jongkok ditepi jurang. Setelah jongkok
satu orang dari para santri ini terjun ke dalam jurang masuk kedalam hutan yang
lebat. Mengetwhui salah santri terjun ke jurang santri yang langsung di tembak
beruntun oleh pasukan pengalawalan ini.
Pukul
16.00 pasukan dengan memerintahkan warga setempat untuk menguburkan Tengku
Bantaqiah dan murid. Sedangkan santri wanita dan istri-istri almarhum dibawa
menujua Mushola yang berada diseberang sungai. Setelah penguburan usai, wanita
tersebut disuruh kembali ke pesantren.
Keadaan
terakhir: pesantren ini sulit untuk dapat melanjutkan aktivitas keshariannya
mengingat saran dan prasarana antara lain kitab-kitab berserta Al-qur'an yang
tersedia telah habis terbakar bersamaan dengan tewasnya Tengku Bantaqiah
beserta sebagian muridnya.
Sebagai
akibat penembakan oleh pasukan TNI terhadap warga pesantren tersebut. Dimana
mereka……..?
Hasil
dari operasi yang dilakukan oleh TNI terhadap pesantren Tengku Bantaqiah ini
masih menyisakan berbagai pertanyaan yang sampai saat ini belum terjawab.
Sehingga warga Meulaboh atau Aceh Barat menjadi resah. Keresahan ini sangat
beralasan sebab bagaimana mungkin seorang ulama ternama dapat dicabut nyawanya
oleh TNI tanpa prosedur, apalagi mereka rakyat biasa, tentunya lebih gampang
lagi melakukannya. Begitu kira-kira alasan mereka. Dari hasil penelitian warga
setempat, masih belum jelas jumlah yang tewas, sebab menurut saksi, masih
banyak dari murid-murid Bantaqiah sampai saat ini belum ditemukan makamnya atau
keberaaanya. Adapun nama-nama yang tewas dan hilang adalah sebagai berikut :
Korban yang Tewas dan Hilang :
No
|
Nama
|
Umur
|
Alamat
|
1
|
Tengku Bantaqiah
|
54 th
|
Blang Meurandeh,
Beutong Ateuh
|
2
|
Usman Bantaqiah
|
25 th
|
Sda
|
3
|
Zubir
|
28 th
|
Sda
|
4
|
M. Harun
Jalludin
|
18 th
|
Sda
|
5
|
Muhammadin
|
40 th
|
Sda
|
6
|
Tarmizi Daud
|
30 th
|
Sda
|
7
|
M.Amin M.
|
28 th
|
Sda
|
8
|
M. Amin Baron
|
25 th
|
Sda
|
9
|
M. Huewin
|
32 th
|
Sda
|
10
|
Jamalol Ade
|
27 th
|
Sda
|
11
|
Syamsuar
|
27 th
|
Sda
|
12
|
Tengku Suhaimi
|
28 yh
|
Sda
|
13
|
Tengku
Muhammadin
|
40 th
|
Sda
|
14
|
Abdul Wahed
|
20 th
|
Sda
|
15
|
Saidi
|
30 th
|
Sda
|
16
|
M. Ali Ben
|
26 th
|
Sda
|
17
|
Muhammad Janata
|
24 th
|
Sda
|
18
|
Tengku Munir
|
35 th
|
Desa Pusong,
Langsa Aceh Timur
|
19
|
Latana
|
24 th
|
Sda
|
20
|
Tengku Kupendi
|
30 th
|
Sda
|
21
|
Mak Ali
|
32 th
|
Sda
|
22
|
Tengku Yusuf
|
32 th
|
Sda
|
23
|
Saifl
|
22 th
|
Sda
|
24
|
Tengku Daud
|
30 th
|
Desa Kuede
Gerebak, Idi Aceh Timur
|
25
|
Salaiman
|
24 th
|
Sda
|
26
|
Ridwan
|
25 th
|
Sda
|
27
|
Iqbar
|
26 th
|
Sda
|
28
|
Junaidi
|
23 th
|
Sda
|
29
|
Tulisman
|
30 th
|
Ranup Dong
Kecamatan Kaway XVI
|
30
|
Junaidi
|
28 th
|
Sda
|
31
|
Azis
|
30 th
|
Desa Kuta Balang
|
32
|
Amir
|
32 th
|
Sda
|
33
|
Tengku Zainal
Abidin
|
35 th
|
Idi Aceh Timur
|
34
|
Buchari
|
26 th
|
Sda
|
35
|
Siabang
|
29 th
|
Buloh,
Lhokseumawe Aceh Utara
|
36
|
Saifullah
|
26 th
|
Sda
|
37
|
Aidit
|
28 th
|
Aceh Selatan
|
38
|
Tengku Saimi
|
35 th
|
Sda
|
39
|
Nurdin
|
24 th
|
Julok
|
40
|
Bustamin
|
24 th
|
Sda
|
41
|
Tengku Tamam
|
35 th
|
Krueng Mane
|
42
|
Tengku Jamin
|
45 th
|
Sda
|
43
|
Majid
|
26 th
|
Desa Geuregok
|
44
|
Dedi Muktar
|
27 th
|
Sda
|
45
|
Iwan
|
32 th
|
Matang, Aceh
Jeumpa
|
46
|
Usman
|
30 th
|
Sda
|
47
|
Samsul Bahri
|
28 th
|
Desa Matang
Sijuk
|
48
|
Razali
|
24 th
|
Menasah Barok
Aceh Pidie
|
49
|
Nasrul
|
27 th
|
Tringgadeng,
Aceh Pidie
|
50
|
Tengku
Zulkarnaen
|
42 th
|
Kila, Aceh Pidie
|
51
|
Mahdi Ubit
|
30 th
|
Kuta Blang
|
52
|
Tengku Mursidin
|
35 th
|
Babah Rot, Aceh
Selatan
|
53
|
Tengku Manaf
|
50 th
|
Lhok Sukon, Aceh
Utara
|
54
|
Sayuti
|
29 th
|
Kandang Aceh
Utara
|
55
|
Tengku Sayuti
|
26 th
|
Lamno, Kecamatan
Jaya Aceh Besar
|
56
|
Tengku Sukri
|
27 th
|
Menasah Baro
Krueng Mane
|
Sumber
data : Keluarga Tengku Bantaqiah.
4. PEMBBUMIHANGUSAN
KOTA DILI, TIMOR TIIMUR OLEH MILITER INDONESIA DAN MILISI PRO
INTEGRASI 20 AGUSTUS 1999
(Catatan tentang kiprah NGO
internasional dan lembaga-lembaga PBB
di Timor Lorosae paska
referendum)
"Tidak ada rumah mewah,
tidak ada bar untuk minum
bir, tidak ada
diskotik, bagaimana mungkin
pekerja-pekerja kemanusiaan itu mau menetap di
sini", ungkap
seorang ketua adat ketika dimintai komentarnya tentang tidak
adanya pelayanan kesehatan oleh
NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB
di Kec. Alas, Same.
"Apakah anda memiliki
identitas? Apakah lembaga anda memiliki pengalaman
bekerja untuk distribusi bahan
makanan di daerah ini? Demikian pertanyaan
yang diajukan oleh seorang staf
WFP (World Food Programme) ketika seorang
staf NGO
nasional/lokal yang telah lama beroperasi di Timor Lorosae
menemuinya dikantor untuk
melakukan koordinasi distribusi bahan makanan di
Baucau, Timor Lorosae".
Operasi pembumihangusan Timor
Lorosae oleh milisi dan militer Indonesia
telah menimbulkan kerugian yang
luar biasa. Mulai dari harta benda hingga
jiwa manusia yang melayang akibat
operasi pembumihangusan tersebut. Dalam
konteks politik internasional,
bisa dikatakan bahwa terjadi keterlambatan
tindakan oleh PBB yang saat itu
sedang bertugas di Timor Lorosae. Akibat
"politik ketidak
acuhan" dari komunitas internasional (baca: UNAMET), maka
milisi bersama militer Indonesia
dengan leluasa melancarkan operasi burning
down pasca pengumuman hasil
referendum, 4 September 1999. Setelah
menjadi korban dalam operasi
pembumihangusan oleh milisi dan militer
Indonesia, kini Timor Lorosae
menghadapi operasi baru yakni "operasi
kemanusiaan".
Penghancuran Timor Lorosae pasca
referendum telah menimbulkan persoalan
baru. Walaupun
diakui bahwa terlepas dari semua itu, Timor Lorosae
berhasil mengusir militer
Indonesia dari bumi Lorosae. Seolah-olah
dengan
penghancuran tersebut telah membuka jalan tol bagi
berbagai
kelompok untuk
"mengoperasikan" program-programnya di Timor Lorosae. Dengan
bungkus operasi kemanusiaan,
berbagai NGO internasional maupun lembaga
intergovernmental seakan-seakan
berlomba melakukan programnya di Timor
Lorosae.
Membanjirnya bantuan
kemanusiaan lewat berbagai NGO dan lembaga
intergovernmental di
Timor Lorosae pasca referendum, tidak dengan
sendirinya berarti
mengakhiri mata rantai penderitaan rakyat. Sebaliknya,
dengan
membanjirnya bantuan ini bisa saja menjadi rantai
baru yang akan
menjerat rakyat Timor Lorosae
dalam ketergantungan abadi.
Belakangan diketahui bahwa jumlah
NGO internasional yang beroperasi di
Timor Lorosae diperkirakan
sekitar 30-an NGO. Sedangkan lembaga
intergovernmental
(lembaga-lembaga PBB) yang beroperasi di Timor Lorosae
antara lain UNHCR, UNICEF,
UNESCO, FAO, WFP (World Food Programme).
Sementara NGO
nasional yang beroperasi di Timor Lorosae sekitar 20-an NGO.
Kelompok-kelompok kemanusiaan
ini datang dengan berbagai program seperti
distribusi makanan, kesehatan,
shelter, urusan pengungsi, pembagian benih
tanaman dan berbagai
program lainnya.
Keberadaan semua lembaga ini,
seperti dipaparkan diatas menjadi menarik
untuk dikaji dalam konteks upaya
mengatasi krisis yang terjadi di Timor
Lorosae saat
ini. Sebelum tiba pada pembahasan mengenai berbagai
persoalan yang dihadapi NGO dan
lembaga intergovernmental dalam operasi
kemanusiaan di Timor Lorosae,
terlebih dahulu akan dibahas politik ideologi
bantuan kemanusiaan.
Politik Bantuan Kemanusiaan.
Sejarah mencatat bahwa sangat
banyak bantuan kemanusiaan yang didrop
dinegara-negara jajahan di
Afrika. Setiap kali ada gejolak baik internal
maupun gejolak
eksternal, maka berbagai kelompok,
NGO ineternasional
maupun lembaga-lembaga PBB (UN
agency) dengan caranya masing-masing
menceburkan diri dalam konflik tersebut
dengan "bungkus operasi
kemanusiaan". Di
Mozambique, di Angola, di Rwanda, Somalia dan berbagai
negara di benua hitam
tersebut paling sering menjadi target operasi
kemanusiaan karena sering dilanda
konflik. Walaupun bantuan kemanusiaan
membanjiri wilayah-wilayah
tersebut, namun angka kematian karena kelaparan
dan penyakit tidak semakin
mengecil. Tapi sebaliknya, angka kematian karena
kelaparan dan penyakit
justru semakin meningkat.
Bantuan kemanusiaan
lewat NGO maupun lembaga PBB sering menjadi persoalan
tersendiri bagi kelompok
masyarakat yang diberi bantuan. Ada beberapa
persoalan menyangkut bantuan
kemananusiaan tersebut.
Pertama, persoalan transparansi
dana. Kebanyakan NGO internasional
memanfaatkan dana
bantuan untuk pemerintah yang dilanda bencana guna
menjalankan program-program
mereka. Hal ini terjadi misalnya di
Mozambique. Pada tahun 1989,
ketika Mozambique dilanda kelaparan akibat
konflik, berbagai NGO
internasional dan lembaga-lembaga PBB melancarkan
operasi kemanusiaan. Dana
terbesar dari operasi NGO dan lembaga PBB itu
kebanyakan diambil dari
bantuan/grant yang semestinya dipakai sendiri oleh
pemerintah Mozambique saat itu.
Kedua adalah persoalan
ketergantungan. Bangladesh adalah satu kasus yang
sangat baik sebagai gambaran
mengenai persoalan ketergantungan akibat
operasi kemanusiaan oleh NGO
internasional dan lembaga-lembaga PBB.
Masyarakat seolah-olah dimanjakan
dengan bantuan kemanusian. Karena itu
setelah berhentinya bantuan
tersebut, masyarakat seolah-olah kaget dan
tidak siap menghadapi kenyataan.
Selain itu, operasi bantuan kemanusiaan
tersebut tidak jarang
memarjinalkan rakyat karena penyaluran bantuan
tersebut justru
hanya menggemukan kelompok kaya baru baik di desa maupun
di kota. Sementara kelompok
marjinal semakin termarjinal karena
ketergantungan kepada orang
kaya baru .
Ketiga adalah persoalan minimya
koordinasi. Banyak NGO internasional dan
lembaga PBB yang melakukan
operasi di berbagai tempat dengan tingkat
koordinasi dengan kelompok lokal
yang sangat minim. Akibat minimnya
koordinasi tersebut menimbulkan
kesan seolah-olah kelompok NGO
lokal/nasional atau
kelompok potensial lainnya yang berada di tingkat
lokal/nasional menjadi
"kelas dua". Bahkan untuk menjalankan
program-programnya, NGO-NGO
lokal terpaksa harus menjadi "pengemis" kepada
NGO internasional ataupun
lembaga-lembaga PBB yang notabene sebagian besar
memakai dana bantuan untuk
pemerintah yang dilanda "bencana" tersebut.
Pada titik ini,
kelihatannya pemerintahan-pemerintahan yang menjadi donor
ataupun lembaga-lembaga
donor dunia merasa lebih tertarik untuk memakai
NGO internasional yang
mempunyai jalinan kerja sama yang kuat dan lembaga
PBB guna
"menghabiskan" dana baik berupa pinjaman
maupun hibah dinegara
yang dilanda bencana. Pemerintah
yang menjadi donor bahkan kerap mencari
sendiri NGO
internasional untuk menjalankan operasi kemanusiaan yang
dana dan progarmnya telah
dirancang oleh pemerintah yang bersangkutan.
Karena itu, NGO
internasional dan lembaga-lembaga PBB yang sering
melakukan operasi kemanusiaan
tersebut cenderung didifinisikan oleh
sebagian
kalangan sebagai private
voluntary organizasation (PVO) atau
organisasi voluntir
swasta. Misalnya dalam pengamatan yang dilakukan oleh
Joseph Hanlon di Mozambique,
ditemukan bahwa dalam banyak hal NGO-NGO
internasional seperti World
Vision atau Care Internasional berperilaku
seperti lembaga-lembaga bisnis
besar atau lembaga-lembaga transnasional
yang mempunyai afiliasi di
berbagai negara. Karena berperan sebagai bisnis
transnasional, maka kepentingan
NGO internasional adalah distribusi uang,
distribusi makanan, bantuan
darurat dan pelayanan. Sementara untuk
overhead cost
lembaga, mereka bisa mendapat dari bunga bantuan/grant yang
diterima selain dari
fundrisingnya sendiri . Akibat minimnya koordinasi,
sering kali NGO atau
lembaga PBB melakukan proyek-proyek dalam jumlah
besar, tapi proyek-proyek
tersebut tidak menjadi skala prioritas kelompok
masyarakat sasaran
yang dibantu.
Keempat adalah persoalan
"pesan sponsor". Banyak NGO internasional yang
dalam operasinya sarat dengan
pesan sponsor. World Vision dalam operasi
kemanusiaan di
Mozambique praktis menjadi pelopor pesan sponsor CIA
(baca: pemerintah USA). World
Vision terkenal sebagai lembaga kristen yang
sangat anti komunis
sehingga World Vision "dipakai" oleh
lembaga donor
untuk melawan pengaruh Frelimo
yang dikenal beraliran sosialis. Bahkan
dalam
operasinya, beberapa staf World Vision malah menyarankan agar Renamo
(tandingan Frelimo) mengambil
alih tampuk pemerintahan yang sah dari
Frelimo . World Vision juga
dikenal mempunyai hubungan erat dengan
rejim-rejim militer
represif di Amerika tengah. Contoh
lain adalah
kehadiran
Care Internasional (khususnya Care USA). Kehadiran Care USA
di
Mozambique pada tahun
80-an jelas banyak membantu operasi CIA untuk
memantau keadaan massa rakyat
yang saat itu sangat mendukung
program-program
Frelimo. Dalam banyak hal NGO-NGO ini memiliki informasi
yang lebih lengkap dibanding
kelompok lain bahkan pemerintah setempat.
Misalnya Care Internasional
dalam observasi Joseph Hanlon, memiliki
informasi mengenai keadaan sosial
dan politik yang lebih lengkap dibanding
dengan NGO lain atau bahkan
pemerintah Mozambique sekalipun.
Informasi-informasi ini tidak
pernah didistribusikan kepada pihak lain
termasuk pemerintah Mozambique,
kecuali kepada pemerintah USA sebagai
sponsor saat itu
.
5. KASUS MESUJI 2011
Yulvianus
Harjono/KOMPASWarga Mesuji menyambut kedatangan rombongan Komisi III DPR.
TERKAIT:
JAKARTA,
KOMPAS.com- Kepala
Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution mengungkapkan, dua
petugas keamanan Pam Swakarsa dari perusahaan perkebunan sawit PT Sumber Wangi
Alam (SWA) menjadi korban pemenggalan yang dilakukan oleh warga Mesuji.
Keduanya bernama Manto (22) dan Saimun (26).
Peristiwa
ini terjadi akibat bentrokan yang terjadi antara warga Desa Sungai Sodong,
Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan dengan Pam Swakarsa
karena sengketa tanah, pada 21 April 2011. Ini diungkapkan Saud untuk penegasan
kembali korban tewas hasil identifikasi sementara tim Polri ditempat tersebut.
"Dari
peristiwa ini dua orang Pam Swakarsa yang dipenggal kepalanya," ujar Saud
dalam jumpa pers di Gedung Humas Polri, Rabu (21/12/2011).
Selain
dua orang Pam Swakarsa yang tewas, terdapat tiga karyawan lainnya juga yang
bernasib sama. Mereka tak dapat menyelamatkan diri saat sekitar 400 orang warga
Mesuji melakukan penyerangan terhadap 60 karyawan yang tengah berada di areal
perusahaan. Penyerangan itu dilakukan karena warga tak terima karyawan
perusahaan PT SWA melakukan panen di lahan sawit yang dianggap masih sengketa.
"Saat
itu, dua orang warga Macan dan Indra Syafii naik motor mendatangi dan melarang
untuk tidak dipanen, alasannya, itu masih sengketa. Maka timbul
keributan," jelasnya.
Dua warga
ikut tewas dalam peristiwa bentrokan ini. Total korban tewas dari peristiwa
Mesuji di Mesuji Sumsel ini mencapai 7 orang. Sementara kerugian material yang
ditimbulkan di antaranya dirusak dan dibakarnya 87 rumah warga, pembakaran
terhadap 7 mobil tangki, 1 kendaraan motor dan 4 mobil, 2 truk dan 1 alat
berat.
6. Sejarah Hitam Indonesia Dari
Tahun 1967-1999
1967 -
1998
Korupsi merugikan negara : 15-35
Milliar USD
1965
Penculikan dan pembunuhan
terhadap tujuh Jendral Angkatan Darat.
Penangkapan, penahanan dan
pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai
Komunis Indonesia . Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam kejadian
ini.
1966
Penahanan dan pembunuhan tanpa
pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara
layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
Dr Soumokil, mantan pemimpin
Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember.
Sekolah- sekolah Cina di
Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1967
Koran-koran berbahasa Cina
ditutup oleh pemerintah.
April, gereja- gereja diserang di
Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta .
Kerusuhan anti Kristen di Ujung
Pandang.
1969
Tempat Pemanfaatan Pulau Buru
dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana .
Operasi Trisula dilancarkan di
Blitar Selatan.
Tidak menyeluruhnya proses
referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat
yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh
rakyat Papua.
Dikembangkannya peraturan-
peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan
organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk
partai politik.
1970
Pelarangan demo mahasiswa.
Peraturan bahwa Korpri harus
loyal kepada Golkar.
Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’
Orde Baru.
Larangan penyebaran ajaran Bung
Karno.
1971
Usaha peleburan partai- partai.
Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta
kampanye berat sebelah dari Golkar.
Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran
tanah tanpa ganti rugi yang layak.
Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta
oleh pemuda- pemuda yang di duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku
Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum
Kuning dibebaskan.
1972
Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.
1973
Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung .
1974
Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat
demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran-
pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain
‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.
1975
Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing
secara misterius.
1977
Tuduhan subversi terhadap Suwito.
Kasus tanah Siria- ria.
Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar,
membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena
meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
Kasus subversi komando Jihad.
1978
Pelarangan penggunaan karakter-karakter huruf Cina
di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi
atas berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri
Ahmadi.
Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas,
yang memberitakan peritiwa di atas.
1980
Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari.
Kekerasan menyebar ke Semarang , Pekalongan dan Kudus.
Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50.
Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negeri.
1981
Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia
oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.
1982
Kasus Tanah Rawa Bilal.
Kasus Tanah Borobudur . Pengembangan obyek wisata
Borobudur di Jawa Tengah memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun
penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena
memberitakan insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di
Jakarta . Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun
tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
1983
Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan
ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.
1984
Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur
1985
Pengadilan terhadap aktivis-aktivis islam terjadi
di berbagai tempat di pulau Jawa.
1986
Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata.
Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan
berbau konspirasi kalangan elit.
Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari
Jakarta.
Kasus subversi terhadap Sanusi.
Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.
1989
Kasus tanah Kedung Ombo.
Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
Kasus tanah Kemayoran.
Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI.
Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa Talang sari.
Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi
dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.
1991
Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi
oleh ABRI terhadap pemuda-pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman
rekannya. 200 orang meninggal.
1992
Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh
oleh perusahaan-nya Tommy Suharto.
Penangkapan Xanana Gusmao.
1993
Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh
perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993
1994
Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan
dengan pemberita-an kapal perang bekas oleh Habibie.
1995
Kasus Tanah Koja.
Kerusuhan di Flores.
1996
Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini
dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember
19962. Kasus tanah Balongan.
Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik
kertas Muara Enim mengenai pencemaran lingkungan.
Sengketa tanah Manis Mata.
Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh
karena ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka.
Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap
Sri Bintang Pamung-kas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang
berkun-jung di sana.
Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI
pro Megawati pada tanggal 27 Juli.
Kerusuhan Sambas–Sangualedo. Peristiwa ini terjadi
pada tanggal 30 Desember 1996.
1997
Kasus tanah Kemayoran.
Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun
Santet di Jawa Timur.
1998
Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat
keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan
perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998.
Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di
jakarta , dua hari sebelum kerusuhan Mei.3.
Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam
demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14
November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.
1999
Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya
di Aceh. Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999. Pembumi hangusan kota Dili, Timor
Timur oleh Militer indonesia dan Milisi pro integrasi. Peristiwa ini terjadi
pada 24 Agustus 1999.
Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa
warga sipil dalam demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan
Keadaan Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan
dikenal sebagai peristiwa Semanggi II.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
· Dalam realita kehidupan bangsa
ini, masih banyak terjadi pelanggaran HAM, baik dilakukan ooleh warga
negara terhadap warga negara ataupun negara terhadap warga
negaranya sendiri. Dapat dicontohkan seperti peristiwa pembunuhan,
penganiayaan, pemerkosaan, penculiakan dan tindak diskriminatif serta pemaksaan
kehendak dari yang kuat terhadap pihak yang tidak berdaya.
· Bukan hanya penyelewengan uang
negara saja yang dikatakann korupsi tetapi yang dikatakan korupsi itu
antaralain yaitu perbuatan yang menghabiskan/ mengambil/ suatu
barang atau jasa secara tidak sah dengan akibat merugikan seseorang maupun
banyak, suatu lembaga dan sebagainya dengan contoh menerlambatkan diri bagi
Guru masuk pada mata pelajarannya (korupsi waktu), Mandi dengan memboros
air (korupsi barang), dan berbagai contoh lainnya.
2. SARAN
· Jadi janganlah jikalau hanya
masalah kecil itu di besar-besarkan hingga terjadi kericuhan yang dapat
merugikan dan membunuh orang banyak.
· Berlaku jujurlah pada diri
sendiri juga pada orang banyak
· Hindarilah perbuatan main
hakim sendiri tanpa mencarii tahu sebab dan akibat dari
perbuatannya.
· Dan mari bersama kita bangun
Indonesia sebagai negri yang aman, negri yang adil dan negri yang sentosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar